Rabu, September 30, 2009

Revisi Antara Nalar, Berbicara, dan Berbuat by Donny Danardono

Antara berbicara dan berbuat, tentu orang lebih suka berbuat.
Karena dengan berbuat, dapat ditunjuk langsung kemampuannya.
Ketua BEM saya pernah berkata: “sedikitlah berbicara, banyaklah berbuat”.
Orang sering dianggap tidak mampu berbuat apa-apa, jika hanya bicara.

Tapi kukira ada satu hal yang kita lewatkan dari 2 hal tersebut.
Kukira, menalar yang paling penting. Sebab, kita tahu, sebelum bicara, tentu berpikir dulu.

Berpikir adalah utama.
Tanpa berpikir, orang tidak dapat berbicara dan berbuat dengan baik.
Dengan berpikir, menggunakan nalar tentunya, orang dapat menggunakan hatinya dengan baik. Hati. Bukan perasaan. Hati berbeda dari perasaan.

Ketika menggunakan nalarnya, seseorang menggunakan otak logika, di mana semua kembali pada apa, mengapa, siapa, bagaimana. Keempatnya erat terkait. Tidak pernah lepas dari sangkarnya. Menggunakan otak, menggunakan hati, menggunakan pikiran, menggunakan ilmu; sehingga orang mampu berbicara dan berbuat.

Tapi jangan sekali-kali menggunakan teori orang lain untuk menalar. Pakai saja kemampuan otak sendiri untuk membuat sebuah teori. Karena melalui teori yang berasal dari diri, orang akan tertuntun mengenali prinsip hidup dan kepribadiannya.

Dari sebuah teori orang dapat mengerti kita tanpa kita berbicara atau bahkan berbuat terlalu banyak...

Pertanyaan terakhir, mampukah seseorang bepikir - menggunakan nalarnya - tanpa menggunakan kata? –donnydanardono-




Kepada Saya
Anda boleh menulis puisi
Untuk atau kepada siapa saja
Asal jangan sampai lupa
Menulis untuk atau kepada saya
Siapakah saya? Saya adalah kata
Joko pinurbo2006

Revisi Dewasa by Donny Danardono

Dewasa?
Apa batas seseorang dikatakan dewasa?
Kukira, kedewasaan tak hanya bersegi fisik.
Ku akui kalau diriku belum dewasa.
Mungkin secara raga iya, tapi secara mental, belum.

Dewasa itu apa definisinya?
Kukira ia kadar kestabilan diri.

Udah,
kapan sebagai orang, sebagai manusia, kita stabil dalam setiap sesi hidup.
Setiap masalah yang dihadapi, setiap peluang yang ada. Tidak kemrungsung.

Di dunia ini, yang paling sulit ditaklukan ialah diri.
Ya.
Jika, secara psikologis, seseorang tidak sehat, seluruh kehidupannya tak menarik dikunjungi.

Kadang aku bingung,
kenapa selalu berpikir negatif?
Kenapa tidak memandang permasalahan dari banyak sisi?

Aku benci jika otakku tidak bekerja.
Mati grek.
Aku tahu hal itu tak membantuku tumbuh menjadi manusia.

Aku benci menganggur.
Karena pengangguran memuakkan,
tidak berguna untuk siapa-siapa.
Ia parasit kehidupan!

Hoi, dunia tu luas!
Gak selebar daun kelor!

Yo ngerti, tapi dunia tu belum tak taklukin!
Aku masih pengeenn ngerti yang aku gak ngerti!
Aku dibunuh perlahan-lahan sama rasa penasaran kaya gini.
Semakin nganggur, semakin bosan,
ujung-ujungnya mikir jelek.
Negative thinking!
AAARRRGHHHH!!

Aku ndak mau digerogoti penyakit ini,
aku harus ubah pikiran-pikiran jelekku.
Tapi dari mana?

Ya dari mulai berpikir positif tho yo….. (yang ini kata temen SMP ku)



Kedewasaan tu sebenernya hanya cara pandang,
coz ga sepenuhnya orang dewasa bisa 100% dewasa …
(yang ini kata temen kuliahku)

Tesis : Negative thinking datang waktu kita sendiri. Tapi belum tentu waktu ada masalah. Bisa iya, bisa tidak.

Anti tesis : Negative thinking datang pas kita tidak sendiri. Biasanya kalo ada masalah kita langsung kemrungsung, bingung dulu.

Aku takut menjadi filosofis, filsafati.
Terlalu mengajukan apa, kenapa, mengapa begitu, mengapa begini?
Aku suka mengejar apa yang seharusnya menjadi hak-ku!
Jawabanku! Aku tak gampang menyerahkan hidupku pada takdir.
Memang takdir tidak bisa diubah, tapi nasib bisa diubah! [apa beda ‘takdir’ dari ‘nasib’? dd]

Hidup selalu memilih,
dilema yang sarkastis!
Menghadapi polemik-polemik membosankan sekaligus menantang!

Sedangkan kehidupan itu kejam.
Tertawalah.
Sebab seluruh dunia akan tertawa denganmu.
Jangan menangis.
Sebab kamu akan menangis sendirian.

Dunia diatur oleh hukum. Namanya hukum alam. Hukum rimba. Yang luar biasa kejam dan licik. Homo homini lupus. Seseorang adalah serigala bagi lainnya. Bener? Betul? Ya! Kalau semua orang tidak berpikir seperti itu, sepertinya tukang parkir dan tulisan HARAP KUNCI SEPEDA MOTOR tidak dibutuhkan lagi! Hehehe…
Dari situ bisa dilihat, sebenarnya manusia selalu berpikir negatif dulu.
Aku bilang: “BISA DILIHAT”. Aku tidak buru-buru menyimpulkan.
Pertanyaanya: Bisakah ini ku sebut dewasa?


Apa iya kita belum menaklukan yang kita pengeni?
Kata temenku lagi, kita belum tau, karena kita belum mencapai itu.
Kita jadi seperti ini, karena dibentuk lingkungan.
Kenapa kita tidak berani bermimpi dan…
yah, katakanlah itu suatu mimpi, keinginan, niat, cita-cita, bualan kalau perlu!

Ikhlas 2

Teruntuk yang tidak pernah terlihat, tidak pernah kujumpai, tidak terwujud, seorang penting, untuk yang menyakitiku, untuk yang mengubahku menjadi lebih kuat, tegar, untuk setiap halangan, rintangan, dan masalah yang terus menemaniku -karena hidup adalah masalah-, dan untuk yang membuat diriku menjadi seperti ini, termasuk waktu, tempat, dan proses.
Tidak jauh mengenai ikhlas. Sebuah tulisan kecil dari pemikiran dan pengalaman yang terjadi. Nyata, tanpa tedeng aling-aling. Yang mengajariku membuat kata-kata bualan, munafik, gersang hingga subur, nyata, hemat bermanfaat.
Untuk menjadi seseorang yang cantik, untuk menyebut bahwa I’m Beautiful dan disebut You’re Beautiful... Tidak segampang pada konsep Blackberry, rebonding, make up minimalis, high heels, mani-paddicure, spa, etc.

James Blunt at You’re Beautiful :
But I won't lose no sleep on that,
'Cause I've got a plan
You're beautiful. You're beautiful.
You're beautiful, it's true.
'Cause I'll never be with you.



Membuat diri menjadi cantik yang sebenarnya memang tidak cantik, bukankah itu ironi munafik seseorang yang tidak mampu menerima keadaan? Menerima. Selalu pada teori menerima! Itu sudah definisi dari ikhlas. Untuk mempercayai apa yang ada, meskipun hal itu seperti ditikam belakang oleh mata pisau.
Teruntuk yang kusebut,
Diriku berterimakasih terhadap semuanya,
Pada yang tak terlihat tapi ada.
Pada yang tak bisa dipercaya tapi nyata ditemui.
Pada yang menyakitiku -terimakasih- untuk kesakitan yang membuatku menjadi lebih kuat.
Pada penyakitku tentu saja -yang selalu menggerogoti tidurku tiap malam- saat aku tertidur lelap.
Pada yang telah meninggalkanku, aku tidak tahu harus berkata apa. Dari dirimulah aku dapat membenci Tuhan, kecewa terhadap-Nya, namun di sisi lain dengan perginya dirimu ke -negeri entah berantah- itu aku justru melek dengan arti-arti sekitarku.
Tahu arti ikhlas -yang meskipun detik ini aku tidak mampu mengikhlaskannmu-, ini dari hati yang terdalam.
Kalau dari mulut, jelas aku mampu tegar- meskipun aku melakukan teater luar biasa di situ untuk meyakinkan -aku baik tanpamu-.
Tapi kau memang tak pernah kembali, bukan karena kau tak mau, atau apa, entahlah. Aku yakin, kau tentunya juga tidak ikhlas. Aku yakin kau tak ikhlas.
Pada hal-hal ramai yang menemaniku, termasuk hujan, yang tergila-gila menemaniku saat duka. Tidak tahu kenapa ia tidak pernah membolos saat mata kuliah sedihku ini.
Mencoba mengikhlaskan kalian dengan senyuman yang -jika agenmu adalah aku- tentu harganya sangat mahal. Jadi aku tidak menjual banyak-banyak padamu.
Oya, terhadap 3 sobat kentalku, bunga tidur -media pertemuanku dengan ‘yang tidak mungkin terulang’- , angan, dan kenangan.
Tidak lupa tetangga terbaikku yang selalu menyapa, kegagalan dan sepupunya, si putus asa.
Yah, beruntungnya aku tidak mengenal penyesalan. Jadi hidupku sekarang cukup puas dan mapan meskipun banyak rasa kecut dan pait -seperti aku mendefinisikan kopi-. Tapi aku tidak mau berhenti untuk mempelajari keindahan di setiap rasa itu.
Menjadi cantik konsep Blackberry mungkin bukan jalanku, -aku juga tidak tahu kenapa- , kadang ada hal yang sulit aku menjelaskannya. Padahal rumusan menghitung luas khatulistiwa dapat dijelaskan, ya?
Dari kalian aku mampu mengucapkan maaf, tolong, dan terimakasih. Dari jatuh aku mampu menghargai sesutu. Dan dari ikhlas aku (mampu) menerima kalian. Alam, aku milikmu, sepenuhnya aku milikmu, dan aku tidak akan menentangmu.
Karena aku dan kamu, dia, juga ruh yang tidak mungkin menentang alam.
Bagiku ’cause I’ll never be with you’ adalah cara aku menjadi cantik, karena ikhlas.

Sabtu, September 19, 2009

Aku Tahu

Karena aku tahu apa yang kamu pikirkan mengenai keputusanku
Karena aku tahu kau begitu mengasihiku
menyayangku
mencitaku
Karena aku tahu betapa kau enggan aku menjadi seperti itu
Tapi aku tidak memungkiri apa yang menjadi keputusanku bisa jadi salah
Kamu terlalu khawatir,
bimbang,
ragu,
dan makin tidak percaya padaku
Tapi setidaknya kau mau mendengarkan pendapatku
pikiranku
dan perasaanku
Yang kadang aku masih ragu dan tidak mengerti realiti,
mengapa begini, mengapa begitu
Bahasa masih menjadi monsternya
Ketika sebuah arti mengenai bahasa belum diketahui
Mengapa setan tidak dibaca tuhan?
Siapakah yang mengartikan huruf?
Dan bagaimana huruf mampu menjadi sebuah kata
lalu menjadi kalimat
lalu menjadi paragraf
setelah itu
alinea?

Apakah bahasa menjadi kacau sejak allah murka
mengguncang menara Babilonia?

Baudrillard mengatakan : kita tak bisa mencintai yang "sama" habis-habisan,
tapi
kita juga tak bisa memeranginya habis-habisan

Girrard mengatakan : ...bahwa sesuatu pun dijadikan korban,
agar bencana tak terjadi.
Korban itu adalah selembar kaus. Di akhir pertandingan, Ronaldo atau Klose akan mencopotnya
dan memberikannya kepada pemain lawan. Benda ini identitasku, ia bagian dari narsisme dalam diriku,
ia berbau keringatku dan kena sedikit panu di kulitku, tapi ia kulepas,
kuberikan padamu.

Pramoedya Ananta Toer mengatakan : "...ah ya, apa pula salahnya mati?"

Bahasa adalah sejarah yang penuh dengan cerita sesat, makna yang berkelok, dan ambigu, rambu-rambu palsu.

Belum lagi mengenai L'homme revolte : "Aku berontak, maka kita ada."

karena-karena itu muncul membelah diri seperti amuba
yang sebenarnya,
--tak sadarkah kau--
bahwa kita sekarang sedang dipermainkan oleh bahasa?

Aku bilang pemikiran yang selalu salah, tapi kau bayangkan betapa hal ini bahasa lebih luar biasa
berdosa
daripada pemikiranku?

Ah ya, satu lagi.
Apakah menurutmu, pemikiranku selalu berdosa?

Aku tahu kau begitu
Karena aku tahu apa yang kamu pikirkan mengenai keputusanku
Karena aku tahu kau begitu mengasihiku
menyayangku
mencitaku
Karena aku tahu betapa kau enggan aku menjadi seperti itu
Tapi aku tidak memungkiri apa yang menjadi keputusanku bisa jadi salah
Kamu terlalu khawatir,
bimbang,
ragu,
dan
aku semakin tahu kau sulit mempercayai keputusanku
untuk mengejar mimpiku
cita-citaku
keinginanku

dan prinsip hidupku
Selamat buat temanku...
Selamat atas kelahiran putramu sehari yang lalu...
Selamat menempuh hidup baru...
Selamat atas kedewasaan otakmu...
Selamat atas pertarunganmu dengan-Nya, yang ternyata kau memenangkan pertandingan ini...
Selamat atas semuanya...
Betapa aku bangga terhadapmu...
Terhadap kekuatanmu,
pemikiranmu,
yang sangat sangat luar biasa...

Kau inspirasiku,
kau yang mengajariku arti hidup
arti kematian
dan arti kehilangan...

Selamat teman atas hal itu...
Aku di sini tulus mengucapkan rasa-rasa tersebut...
dan mendoakan supaya hidupmu-yang masih jauh- itu terus berlangsung,
terus indah,
terus menghidupi aku yang tak hidup ini...

Loyalitas Kerja

Sebagaimana dalam sebuah komitmen, sebuah perjanjian kerja yang ditandai dengan kontrak, pasti tidak jauh dari kesepakatan bersama untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam bekerja. Kualitas dalam kerja berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa loyalitas bekerja merea yang paling ideal.
Loyalitas merupakan komitmen utama yang harus ditangkap konsumen sehingga dalam kaitannya, pengembangan Sumber Daya Manusia juga terus ditingkatkan. Merupakan suatu keberadaaan yang sungguh-sungguh dan konsisten sehingga tujuan perusahaan -yang mencari keuntungan- memang menguntungkan perusahaan tersebut.
Untuk mencapai kadar loyalitas tinggi tentu saja hal pelatihan pengembangan diri tidak boleh hanya ditanamkan pada satu pihak “buruh” atau “majikan”. Pekerja atau pengusaha. Demi mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya, kedua unsur perusahaan ini dapat mengembangkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin sejati dalam perusahaannya.
Apabila hal pemahaman “pemimpin” masih belum seimbang, maka kredibilitas, integritas, dan kematangan pribadi pimpinan di mata seorang pekerja masih nol besar. Jadi kesimpulannya loyalitas dalam bekerja dilihat dari apa dan siapa. Contohnya loyalitasjuga tidak jauh dapat dipengaruhi oleh semangat. Dan semangat mendapatkan benefit. Kejelasan hak dan tanggung jawab yang diterima sangat mempengaruhi loyalitas dalam bekerja.

Selasa, September 15, 2009

IKHLAS

Bagaimana sebuah ikhlas dipertanyakan?
Ilmu keikhlasan sering saya jumpai. Boleh dibilang ini ilmuyang paling susah setelah ilmu bahasa. Mendefinisikan sebuah ikhlas tentu tidak jauh dari peran serta jiwa besar di dalamnya. Mengikhlaskan sesuatu, dalam ajaran Islam, sangat-sangat berat dan memerlukan suatu daya “nrimo” yang lapang, luas, dan tanpa pamrih. Mengajak hal-hal yang bertentangan dengan pikiran, hati, dan emosi untuk memberi kesempatan terhadap jiwa untuk memberikan suaranya.
Ikhlas berarti mempercayai bahwa Tuhan akan memberi kita sesuatu yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih berharga dari yang sebelumnya. Padahal ada jiwa yang kadang begitu sulit untuk ikhlas/mengikhlaskan sesuatu, sehingga ada suatu dilema yang ujung paling mengerikan adalah tidak percaya lagi pada Tuhan.
Tentu hal barusan bukan ikhlas namanya.
Ikhlas itu tulus, tak terperi, mampu mengatakan “Yo wes, meh piye neh???” (“Ya sudah, mau apa lagi?”
Seakan-akan hal itu adalah pilihan hidup dan mati yang hanya terjadi 1x di dunia!
Seakan-akan pemberi kuasa tidak mengijinkan kita untuk menghirup udara kedua dan ketiga setelah hal tersebut terjadi! Sesungguhnya, siapakah itu yang ironis dan licik?
Ikhlas bukan membutuhkan mata, apalagi hati.
Ikhlas adalah mempercayai bahwa dengan merelakan sesuatu, kita akan lebih bahagia, lebih indah. Secara teoritik yang munafik.
Apa mampu kita bahagia dengan luka menganga, hati hancur berkeping-keping, dan jalan terseok-seok?
Tentu sulit.
Tapi dengan sebuah ikhlas, itulah hal yang membuat penderitaan tersebut justru menjadi lebih indah. Sangat indah. Dan di sini peran Tuhan akan menjadi anugerah, bukan sekedar pencabut kebahagiaan.

REVISI PAHLAWAN

Aku masih duduk terpaku di trotoar Pahlawan.
Mencoba menyadari semua yang lewat.
Tanpa kutahu, alam tak ramah lagi.
Merunduk dan menangis,
selalu sakit perasaan ini.

Aku bertahan,
mengumpulkan serpih kesedihan dan semangat
yang aku sendiri tak tahu tercecer di jalan apa.
Aku lupa nama jalan itu.
Aku bahkan lupa bagaimana sebuah kesedihan bisa menyerpih, hilang.
 
Barangkali ada toko yang menjual semangat?
 
Kadang ada saat sebuah semangat mendapat sebungkus kesedihan.
Aku tidak memilih yang itu.
Aku akan membeli sebuah semangat yang terkemas dan terpajang apik di etalase.
Dan aku berusaha tak melirik sebungkus kesedihan yang didiskon besar-besaran di pojok etalase itu.

Hm…
Hanya nanti, lewat tengah maghrib, akan kubeli dan kupakai menuju kedewasaan otakku!

Ssstt…
Yang tadi rahasiaku denganmu!
Jangan katakan pada siapapun!
Mungkin akan kuberikan bonus kesedihan itu kepada yang belum merasakannya.
 
Kubenahi dudukku
Sampai, akhirnya, kupindahkan bokongku ke sudut sore yang sepi.
Tanpa ramai, tanpa kata.

Peluh, seperti biasanya, masih menyelimuti tubuhku.
Tubuhku, seperti biasanya, tak tertutup selembar selimutpun.
Aku, seperti biasanya, masih merancukan kata.
Aku, seperti biasanya, masih tak memahami kata-kata.

Aku,
serpihan sedih,
dan semangat.
Masih saling berkejaran di Simpang Lima .
Tanpa peduli kata-kata yang merecoki hidupku!

Jumat, September 04, 2009

Menyoal Keseriusan Pekerja Outsourcing

Menyoal Keseriusan Hak Pekerja Outsourcing


Pengaruh globalisasi yang mengidolakan instanisasi menyebabkan adanya perubahan pola hubungan kerja. Baik dari sisi pekerja atau pengusaha sendiri. Desakan persaingan global membuat perusahaan menambah metabolismenya, sehingga hak pekerja dipertanyakan keseriusannya. Pekerja dituntut mengerahkan tenaganya tanpa mengingat hak yang sepatutnya diterima. Cerita lama, pekerja selalu kalah dalam hal berselisih dengan pengusaha.
Pekerja outsourcing dalam memperoleh haknya, sangat tidak sebanding berimbang dengan pekerja tetap pada sebuah perusahaan. Kebijakan memahami hak pekerja outsourcing masih nyata terlihat belum terpenuhi. Sebelum membicarakan tentang hak pun, keberadaan mereka di perusahaan masih rancu dalam hal pekerjaan mana, maksudnya kerancuan pembagian kerja hingga pemberian perintah masih menyudutkan pekerja outsourcing yang di mana mereka tidak seharusnya mengerjakan pekerjaan yang bukan kewajibannya. Pekerja outsourcing, lama kelamaan disamakan kewajibannya dengan pekerja tetap, namun tidak pada hak-haknya.
Upah dan fasilitas kerja seperti tunjangan dan subsidi tidak didapat oleh pekerja outsourcing. Bahkan jaminan kecelakaan kerja diberikan oleh Jamsostek, bukan perusahaan di mana ia bekerja. Keseriusan hak pekerja outsourcing memang patut dipersoalkan, mengingat hal di atas. Belum lagi ujung akhirnya jika hal ini dibiarkan terus mengalir, kesenjangan antara pekerja tetap dan pekerja outsourcing, masihkah dapat menimbulkan ketentraman mereka? Perbedaan tingkat kesejahteraan antara mereka jelas terlihat.
Perluasan dan perkembangan produk outsourcing mengakibatkan makin kecilnya jumlah anggota lembaga penaungan pekerja/buruh (Serikat Buruh). Kelemahan di sektor ini yang semakin membuat posisi pekerja outsourcing menipis karena mereka dituntut menaati hukum pabrik yang kaku, universal, individualistis tanpa pengayoman perusahaan dan Serikat Buruh.
Tulisan ini diharapkan bahwa memang hak-hak pekerja outsourcing belum terpenuhi secara maksimal. Oleh karena itu betapa perlindungan dan pengayoman terhadap pekerja outsourcing harus diperjuangkan. Pekerja tidak boleh hanya terpaku dan bergantung pada tuntutan namun juga pada keberadaan hak yang mesti diperolehnya.

Antara Berbicara, Berbuat, dan Nalar

Antara berbicara dan berbuat, tentu orang lebih suka berbuat. Karena dengan berbuat, seseorang dapat menunjukkan langsung kemampuannya tanpa panjang lebar. Ketua BEM saya pernah berkata bahwa sedikitlah berbicara, banyaklah berbuat.
Orang sering dianggap tidak mampu berbuat apa-apa jika hanya banyak bicara.

Tapi menurut saya ada satu hal yang kita lewatkan dari 2 hal tersebut. Menurut saya, hal menalar ialah yang paling penting sebab kita ketahui sebelum orang berbicara tentu dia lebih dahulu berpikir.
Berpikir adalah yang utama, tanpa berpikir, orang tidak akan dapat berbicara dan berbuat dengan baik. Dengan berpikir menggunakan nalar tentunya, orang dapat menggunakan hatinya dengan baik. Hati. Bukan perasaan. Hati dan perasaan itu berbeda.

Ketika menggunakan nalarnya, seseorang menggunakan otak logika, di mana semua kembali pada apa, mengapa, siapa, bagaimana. Keempat hal itu saling berkaitan erat. Tidak pernah lepas dari sangkarnya. Menggunakan otak, menggunakan hati, menggunakan pikiran, menggunakan ilmu, sehingga orang tersebut mampu berbicara dan berbuat.

Tapi jangan sekali-kali menggunakan teori seseorang untuk dinalar. Pakai saja kemampuan otak kita sendiri untuk membuat sebuah teori. Karena dari teori yang berasal dari diri kita inilah yang menuntun orang mampu mengenal prinsip hidup dan pribadi kita.

Dari teori orang dapat mengerti kita tanpa kita berbicara bahkan berbuat terlalu banyak...

Pertanyaan terakhir, mampukah seseorang mampu bepikir menggunakan nalarnya tanpa menggunakan kata? –donydanardono-




Kepada Saya
Anda boleh menulis puisi
Untuk atau kepada siapa saja
Asal jangan sampai lupa
Menulis untuk atau kepada saya
Siapakah saya? Saya adalah kata
Joko pinurbo2006

Teror Berakibat Makin Banyak Homo Homini Lupus

Teror berakibat makin banyak Homo Homini Lupus.
Aksi teror bom yang ditebar kawanan “X” yang kita belum tahu siapa itu pada beberapa hari lalu di Jakarta (J.W. Marriot dan Ritz Carlton) membuat banyak akibat di semua kalangan. Kejahatan terhadap nyawa, psikis seseorang, hingga perekonomian dunia internasional menjadi semrawut. Nyawa, sudah pasti melayang akibat bom tersebut. Dalam 1 menit nyawa 9 orang melayang dengan sangat cepat, dahsyat, luar biasa!
Yang tidak meninggal tentu harus bersyukur meskipun bentuk raga juga tak karuan rasanya. Luka-luka, luka batin, luka psikis, luka jiwa, atau apalah namanya, menimbulkan perasaan was-was, takut, serta tidak nyaman seseorang. Di semua kalangan! Tidak hanya Presiden yang geram dan mengutuk keras aksi teror bom tersebut, jejeran artis hingga masyarakat biasa (seperti saya tentu saja) juga merasakan hal itu. Benar ‘kan? Jangan munafik. Akuilah hal itu memang sedang Anda rasakan. Siaran media massa non-stop memberitakan cerita ini. Mengerikan! Yang pertama ada dalam pikiran kita : siapakah yang tega melakukan hal ini? Yang kedua adalah bagaimana ‘sih pemikiran pengebom itu? Rasanya mustahil di telinga kita yang setiap saat dihadapkan pada fakta-fakta baru tentang pasca pengeboman. Hidup selalu untuk memilih, dilema yang sarkastis! Menghadapi polemik-polemik membosankan sekaligus menantang!
Sedangkan kehidupan itu kejam. Tertawalah sebab seluruh dunia akan tertawa denganmu tapi jangan kamu menangis, sebab kamu akan menangis sendirian.
Ketika saya mendapat pelajaran Sosiologi, saya belajar utnuk memahami tiap kata Satjipto Rahardjo, guru besar Sosiologi di Universitas Diponegoro. Ya, tiap kata yang terdapat di tiap kalimat yang dilontarkan beliau ini! Untuk memahami kalimat yang diucapkannya memang tidak mudah, maka saya mempelajarinya tiap kata. Jika penafsiran saya benar mengenai kalimatnya, saya juga hendak memahami kalimatnya yang sering tertuang dalam definisi-definisinya mengenai kosa kata beliau. Tentu hal ini sangat tidak mudah. Pemikiran tajam beliau ini kadang sangat susah dipahami. Sosiologi kerap saya temui di manapun saya berada. Mempelajari tentang tingkah laku manusia, masyarakat, individu, ataupun kelompok.
Ketika dunia berpikir kencang mengenai sebab akibat yang kocar-kacir saya hanya kembali kepada sosok Thomas Hobbes mengenai teorinya Homo Homini Lupus, manusia sebagai serigala bagi orang lain.
Dunia diatur oleh sebuah hukum. Namanya hukum alam. Hukum rimba. Yang luar biasa kejam dan licik.
Jika saya sebut Anda serigala, marahkah Anda? Bagaimana reaksi Anda?
Jika Anda memang bukan “serigala”, sepertinya tukang parkir dan tulisan HARAP KUNCI SEPEDA MOTOR tidak dibutuhkan lagi!
Buat apa Anda mengunci sepeda motor Anda di tempat parkir? Jika Anda tidak menganggap orang lain akan mencuri motor Anda, buat apa Anda mengunci sepeda motor Anda? Saya setuju dengan teori ini dan saya percaya 100 persen jika Anda menganggap seseorang sebagai bahaya bagi Anda.
Jika kembali dalam kasus kriminal hingga genosida kebanyakan, yang sering menjadi gangguan pemikiran saya bukan pada akibat, melainkan pada sebab. Bukan maksud saya untuk mengantitesiskan ada sebab maka ada akibat atau ada akibat karena ada sebab. Jika saya balik, ada akibat maka ada sebab dan ada sebab karena akibat.
Menurut saya, homo homini lupus yang ditebar oleh teror bom ini termasuk yang terakhir. Dalam masyarakat kita terdiri dari banyak golongan, kelompok, yang tentunya di dalamnya tidak ada individu yang sama persis. Individu-individu inilah yang membentuk sebuah kelompok, golongan, strata, populasi, atau komunitas.Dalam perbedaan-perbedaan itu ditemukan adanya beberapa kesamaan yang ada.
Pasti. Saya jamin. Keadaan yang sama ini kadang membuat orang malah berpikir curiga dan punya kehendak untuk menjadikan kawannya itu lawan. Ada lagi rasa ingin untuk menjatuhkan lawannya itu jika ada kesempatan. Munafik jika Anda tidak mengakui hal ini.
Sama pula dengan pemikiran para gembong teroris yang melakukan jihad. Para pengantin-sebutan yang digunakan oleh para pelaku bom bunuh diri- dibuat sepercaya mungkin bahwa melaksanakan pengeboman terhadap tempat atau kawasan yang berbau “Amerika” adalah sesuatu yang luar biasa, mendapatkan pahala dan diterima dalam pangkuan Allah SWT. Kurang lebih begitu big line nya. Di atas tadi saya bilang bahwa ada sebab karena akibat. Saya percaya penuh mereka melakukan hal itu pasti ada akibat yang dterima berkat sebab yang mereka dapat. Lha, pusing ‘kan?
Mereka itu pintar ‘kok. Saya jamin, mereka bukan orang sembarangan atau orang bodoh yang hanya mencari sensasi masuk tipi. Ahli merakit dan memasang bom paling tidak butuh ahli yang tingkatannya paling tidak Strata 1. Bukan orang sembarangan yang tau istilah-istilah bahan yang dipakai untuk menghancurkan gedung. Terus, jadinya ‘kok pintar yang tidak bijaksana gitu? Pintar yang tidak tersalurkan dan menguntungkan. Atau cuma pemikiran mereka yang mungkin kita orang umum dan awam kurang mudheng!
Perbuatan semacam ini disebut sebagai teror, di mana masyarakat kita menjadi resah dan gelisah. Merasa tidak aman dan nyaman terhadap keadaan yang ada. Berakibat pula pada masyrakat yang tidak tahu apa-apa, semakin menjadi-jadi rasa was-was itu. Mau ke mall, takut. Tidur hotel bergengsi, apalagi. Punya tetangga buaaaaiiikkkkk’e nda karuan juga ternyata membuat kita justru merasa aneh. Saya yakin penduduk sekitar Temanggung yang berdekatan dengan rumah NMT tidak tahu bahwa rumah tetangganya itu sarang teroris. Wow!
Virus-virus ini telah menimbulkan dampak yang paling besar menurut saya. Yaitu homo homini lupus makin merebak. Rasa curiga terhadap orang lain meningkat. Antar manusia menganggap bahwa keamananya sebagai masyarakat sudah pupus, tidak ada lagi. Jangankan percaya terhadap hal-hal baru, untuk percaya pada hal-hal lama pun kadang masih agak sulit. Jika sudah begini, sebenarnya di mana pokok permasalahannya?
Dalam kenyataanya sebelum terjadi kehidupan memang teori homo homini lupus sudah ada, hal ini memang dibutuhkan, saya tidak menampik teori ini karena dengan adanya homo homini lupus, masyarakat kita dapat bertahan hidup. Tentu saja jika homo homini lupus dilakukan secara stabil dan sehat karena nantinya dalam proses ini akan ada persaingan dalam kehidupan mereka. Bila mau bicara tentang persaingan, tentu masalah persaingan dengan konteks bertahan hidup memang berat. Tapi bisakah hal curiga itu mulai dikurangi dan menggantinya dengan banyak positiv thinking? Saya yakin ‘kok homo homini lupus berkurang. Semoga.

Pernah Bayangin Nikah Muda?

Pernah bayangin nikah muda?
Dalam benak kita di jaman serba modern ini nikah muda dianggap sesuatu yang “Aduh, gimana gitu..” Apalagi kalau disertai embel-embel udah MBA (Married By Accident) alias keelakaan atau hamil di luar nikah. Duh, bayangin aja udah ngeri, apalagi kalo ngadepin masalah gitu, kayaknya aduh mak.. Belum siap dehh..
Dituntut tanggung jawab dan kewajiban yang sangat besar. Pertanyaannya, mampu nggak kita ngadepin kaya gitu?
Kalo enggak sih ya mending ga usah, ga usah coba-coba!
Kalo pun udah berani nyoba itu juga harus siap nerima segala resikonya, apapun itu!
Aku punya temen, sebut aja namanya Mawar (duh, kaya di surat kabar aja!), dia seumuran sama aku, malah lebih muda beberapa bulan daripada aku.
Kehidupan dia dari remaja udah gak normal aku pikir. Ya, orangtuanya cerai terus ibunya menikah lagi, Mawar dan adik perempuaanya ikut bersama ayahnya. Mawar mempunyai seorang kekasih, cukup lama menjalin hubungan dengan pria ini yang juga kakak kelas kami. Sebut saja namanya Robert.
Namun setelah lulus SMU, Robert melanjutkan studinya di Negeri Bambu.
Berat hati Mawar melepas kepergian sang kekasih yang telah menemani hidupnya selama 3 tahun belakangan ini. Kasih memang tak mengenal jarak, hubungan mereka tetap berjalan sehalus dan serapi mungkin. Alat komunikasi canggih seperti Handphone hingga internet tidak pernah absen menemani hari-hari mereka. Foto terbaru mereka selalu dikirim kepada pasangannya. Mereka selalu berkomunikasi dengan sangat baik, menurutku.
Dan mereka selalu menjaga komitmen mereka masing-masing. Aku sangat salut dengan mereka. Saling percaya dan saling mencintai.
Tapi, nah ini yang tidak enak.. Karena pada setiap apa selalu ada kata tapi. Tapi rasa mencintai yang berlebihan juga tidak baik. Rasa yang berlebihan itu semakin merobek relung mereka. Singkat cerita mereka berpisah karena memang sulit untuk menjalin hubungan jarak jauh. Jikalau adapun pasti sangat sulit. Kepercayaan yang terlalu dipupuk lama-lama juga overdosis sehingga mereka memilih kata paling akhir, yaitu mencintai tidak memiliki. Pahit memang untuk mengatakan berpisah. Bagi mereka, mencintai ialah saaat mereka bisa melihat pasangan mereka tersenyum meskipun pasangannya itu bersama orang lain. Teorinya memang benar, kelihatan tegar saat mengatakan itu, tapi nyatanya? Faktanya apa? Sulit, sangat sulit.
Mawar orang yang sangat dewasa, disiplin, dan ia kuat. Tegar. Dalam keadaanya yang serba berat itu ia masih menyempatkan diri untuk mengurus rumah, semua pekerjaan rumah ia kerjakan tanpa meminta imbalan. Ia anak yang prihatin terhadap ayahnya. Saat ayahnya dalam keadaan sulit, ia selalu membuat ayahnya merasa nyaman dengan keadaannya. Ia melakukan semua pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, hingga mencabut rumput di halaman depan rumahnya. Ia senang sekali memasak, bahkan masakannya ia jual di sekolah untuk menambah kebutuhan keluarganya. Setelah lulus SMA, di saat setiap teman kami berangan hendak melanjutkan studi ke perguruan tinggi terkenal A, B, C atau D ia dengan santai berkata, “ Belum tahu aku mau lanjut atau mau kerja saja.”
Kerja? Kerja apa kau dengan ijazah SMA?
Ya itulah Mawar. Gigih, pantang menyeah sebelum mencoba. Cita-citanya menjadi ibu rumah tangga yang baik dan mengurus/mengasuh anaknya beserta suaminya kelak. Aku sendiri juga tidak ngeh mendengar cita-cita ini. Tapi aku bilang, apa yang kita ucapkan ialah doa untuk kita sendiri dan semoga itulah yang akan terjadi. Alam akan membawa kita pada hal-hal yang kita pikirkan. Itu yang disebut dengan law of attraction. Hukum tarik menarik.

Oke, kembali ke cerita Mawar itu tadi.
Setelah 4, 5 bulan berjalan dan kami tidak memutuskan tali komunikasi kami, kami tetap saling contact, melalui email, friendster atau SMS. Kami saling bertukar cerita. Mengenai aku, dia, dan semua yang dapat kami ungkapkan. Dia selalu memberi dukungan dan saran hingga kritik terhadap aku, apapun bentuknya, seperti doa dan semangat. Aku melihat semangat yang begitu kuat dari dirinya. Ah, betapa beruntungnya aku mengenal orang seperti Mawar. Setelah perpisahan di SMA itu, kami berpelukan untuk yang terakhir kali dan mengatakan bahwa kami akan bertemu kelak jika kami sudah sama-sama menjadi “orang” yang sukses, mempunyai keluarga bahkan anak, canda dan tawa kami waktu itu masih tersimpan jelas di pikiranku.
Selang waktu itu dia pun selalu bercerita mengenai kehidupannya sekarang. Mawar pindah ke Surabaya sejak lulus. Begitu pula dengan adiknya. Waktu itu ia berkata bahwa mimpinya mempunyai restoran, tapi menurutnya tidak mungkin jika mempunyai resto yang sukses tapi tidak mempunyai pengalaman dan modal yang kuat. Oleh karena itu ia memutuskan untuk menjadi karayawati di beberapa resto, dsb. Okelah kawan, jika itu mimpimu dan hal itu bias membuat mimpimu terwujud ya kenapa tidak? Toh pekerjaan itu tetap halal, begitu kataku.
Semua keluh kesahnya hidup di kota besar dan metropolis seperti Surabaya sudah aku dengar, seperti saat di saat ayahnya sedang meniti karir dari nol membuka toko listrik di rumahnya, belum genap dua minggu, tokonya sudah disatroni tamu tak diundang. Betapa naasnya hidup Mawar. Mereka hidup tidak mewah namun juga tidak kekurangan. Gara-gara kejadian itu ia mengurungkan niatnya yang waktu itu sedang ingin mengikuti banyak kursus, karena sudah jelas keluarga mereka sedang kekurangan uang. Jangankan kuliah, untuk mengikuti kursus pun Mawar tidak berani. Ia lebih mengutamakan sekolah adiknya daripada untuk biaya dirinya.
Aku trenyuh.
Sebulan aku sibuk hingga aku kami pun tidak saling komunikasi, kabar yang kudengar terakhir ia mendaftar pada suatu perguruan tinggi swasta di sana setelah dipaksa oleh ayahnya. Okelah, semoga sukses kawan!
Itu pun dia sudah telat dalam pendaftaran kali itu.
Aku hanya mesem.
Dua bulan kemudian aku mendengar bahwa dirinya memang sudah tidak bisa bersatu dengan kekasihnya, Robert, karena dipaksakan bagaimanapun memang ternyata hanya menimbulkan sakit luar biasa pada benak mereka. Kabar itu aku dengar tidak pada saat itu juga, jadi sudah agak lama baru aku dikabarinya. Kabar itu sudah cukup membuatku kaget setengah mati belum lagi kabar yang kedua bahwa Mawar sedang dijodohkan dengan anak kenalan neneknya yang lebih tua 11 tahun dengan dirinya! Oh my God! Kabar apalagi ini?
Pada awalnya memang aku yang jadi konsultan cintanya dengan Hendra, kekasih barunya itu. Setiap masalah yang terjadi pada Mawar selalu ditumpahkan kepadaku dan akulah yang akhirnya menjadi penasihatnya…
Oke..Oke untuk hal seperti ini aku dan Mawar memang lumayan jago, tapi Mawar untuk dirinya sendiri ia masih membutuhkan orang lain, dan orang lain itu adalah aku!
Permasalahan tanggapan karena berbeda umur memang sering menjadi pokok utama. Ia menganggap Hendra terlalu tua sehingga tidak mengerti perasaan si Mawar yang lebih muda. Ya aku bilang saja, karena dia tua makanya dia tidak mengurusi hal-hal seperti yang kamu inginkan. Hiburku waktu itu. Seperti masalah cemburu, selingkuh dengan si A atau si B sudah bukan menjadi urusan Hendra sekarang.
Curhat semacam itu sudah biasa di mataku jadi aku tidak kaget lagi setiap ada SMS masuk dengan nama pengirim : Mawar.
Suatu hari di siang bolong aa SMS dari dirinya yang mengabarkan bahwa dirinya akan menikah akhir bulan ini dengan Hendra karena dirinya tengah mengandung anak Hendra dan sudah jalan dua bulan masa kehamilannya! Benar-benar berita fantastis!
Demi Tuhan yang kukhawatirkan sekarang ialah janin yang tengah dikandung! BUKAN YANG LAIN!! Aku saat itu tidak peduli dengan dirinya dan hubungannnya dengan keluarganya, ataupun mengenai pernikahannya atau apanya! Aku tidak urusan dengan hal semacam itu! Bayi yang anugerah dari Tuhan itu bahkan tidak mengerti apa-apa! Sedangkan ibunya juga tidak tahu apa-apa mengenai dirinya dan anaknya! Gila. Benar-benar gila!
Tak bisa kubayangkan wajah Mawar saat ini. Tapi ketika kutanyakan mengenai bagaimana rasanya? Mengapa bisa begitu? Lalu apa yang hendak kau lakukan? Dan sebagainya..
Ia menjawab dengan santai..

Ya sudah terlanjur… Mau apa lagi…
Rasanya yaaaa tidak enak…Mual, ingin muntah…
Setelah ini bla…bla..bla…

Kau menyesal?

TIDAK.
AKU TIDAK MENYESAL.

Kaget lagi aku.

“AKU TIDAK MENYESAL TELAH MELAKUKANNYA KARENA PADA SAAT ITU KAMI MELAKUKAN DENGAN KESADARAN PENUH, SAMA-SAMA MAU DAN AKU TIDAK MERASA TERBEBANI DENGAN ANAK YANG TENGAH BERJUANG HIDUP INI KARENA AKU MENGINGINKANNYA MESKIPUN PADA AWALNYA MEMANG TIDAK.”

Ah, Mawar pada awalnya tidak menginginkannya.. Tapi ia sadar bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan besar dalam hidupnya dan sekarang ia tidak mau mengulang kesalahannya lagi. Tidak mau.
Keputusannya ia akan nikah muda, ia mengetahui segala resikonuya dan ia siap untuk itu. Betapa tegar nyalinya mengarungi kehidupan yang kejam ini. Jika aku yang menjadi dia, belum tentu aku mampu menghadapinya. Karena cobaan berat itu meskipun kita sudah tahu, akan masih ada yang lebih menyulitkan kita. Jika kau punya mimpi dan aku harap mimpi itu indah sehingga apa yang kau inginkan memang benar-benar terjadi. Sesaat aku tercenung memikirkan kehidupan Mawar kelak. Namun hari yang dilalui Mawar sudah dimulai dengan banyak problema dari intern maupun ekstren. Kadang berita yang dibawa padaku sampai saat ini bertema kebahagiaan, tapi tidak jarang berita yang disodorkan padaku merupakan berita yang juga membuat kepala sedikit berat untuk memikirkannya. Sempat ingin menangis juga mendengar kabar seperti itu, di mana Mawar mulai melewati masa-masa sulitnya dalam kehidupan dua keluarga yang mempunyai karep (keinginan) sendiri-sendiri. Lalu penengah macam apa yang diharapkan Mawar saat ini? Aku sebagai kawan cuma bisa mendoakannya supaya kehidupannya membaik dan terus membaik dan semoga saja mimpi Mawar semakin indah…
Masalahnya ialah nikah muda, kata lainnya nikah dini, dan sebagainya, aku tidak tahu istilah apa yang dipakai orang jaman sekarang. Ketika orang, hm.. Aku sebut saja pasangan. Oke? Ketika sepasang insan memutuskan untuk mengikat dirinya sebagai suami istri, itu artinya mereka telah berani memutuskan bahwa komitmen yang akan dijalani berlaku seumur hidup, karena apa yang akan dilakukan suami istri tentunya akan terpatri seumur hidup pada history (sejarah) seseorang kelak hingga ajal menjemput. Ketika komitmen itu mengeras dan dipenuhi tekad yang sangat bulat, mereka harus sudah dituntut untuk mempertanggungjawabkan segala kewajibannya sebagai suami atau istri, sebagai orangtua, sebagai panutan, teladan, sebagai masyarakat, sebagai salah satu bagian kecil dalam sebuah keluarga besar, hingga sebagai mahkluk ciptaan Tuhan dalam usia dini…
Pernikahan tidak ada salahnya. Kalau embel-embelnya dini?
Apakah masih salah? Menurutku tidak juga selama mereka MAMPU itu tadi. Sudah rela dan menyanggupi semua syarat yang diajukan. Ketika seorang yang muda dan itu adalah usia di mana ia menikmati masa muda dengan mimpi-mimpi seperti oranglain, studi misalnya, dan sebagainya, ada juga orang ini yang mau menghadapi bahtera keluarga. Aku belum mengalaminya jadi aku tidak bisa berkata banyak. Mungkin khususnya bagi wanita, menjadi ibu rumah tangga ialah sesuatu yang kalem dan wajar. Menikah adalah impian setiap wanita. Punya anak, apalagi. Rasanya memang belum menjadi seorang wanita jika belum melahirkan. Tapi permasalahannya ialah letak waktunya. Mungkin nggak di jaman sekarang yang serba susah gini orang masih bercita-cita seperti itu? Mampu secara fisik, okelah. Mampu secara batin? Hm….. Aku cuma mikir apa jadinya orang melihat aku? Mampu secara materiil? Lha ini…………. Sektor paling berat ada di sini deh…. Bisa dilanjutkan sendiri jawabannya.