Kamis, Maret 18, 2010

Perjuangan Pintar, Antara Kualitas dan Kuantitas

Buku adalah jendela dunia. Tanpa ada buku, kita tidak bisa mempelajari apapun. Begitu kata pepatah dari jaman dulu. Buku yang menjadi “jendela dunia” itu tentu berisi ilmu mengenai sesuatu hal penting untuk pembacanya. Ilmu pun bermacam jenisnya dilakoni sang penulis, hal ini dilakukan karena keinginannya untuk membagi ilmu yang dimilikinya. Munculnya aneka macam jenis buku dari yang tebal hingga yang tipis, dari yang bergambar hingga yang tak ada gambarnya, dari yang murah hingga yang mahal, dari yang bermutu hingga yang tak bermutu. Keberadaan buku sebagai penunjang pembelajaran akademik maupun non-akademik menemani para peminat buku dari yang tua sampai yang muda, dari yang pemula hingga yang sudah ahli, dari yang mampu hingga yang tidak mampu.
Menyangkut persoalan terakhir, bahwa kemampuan seseorang untuk memiliki (membeli) buku merupakan suatu polemik ironis di zaman ini, yang seharusnya orang-orang atau anak-anak yang kurang mampu dihadapkan pada persoalan mahalnya buku ajar yang harus mereka beli. Ada istilah, orang miskin dilarang pintar. Apakah hal ini akan mendasari masalah di atas tersebut?
Jurang kualitas dan kuantitas yang ada membuat pihak-pihak di dalamnya seperti pemerintah, penulis, dan penerbit menjadi semakin dalam. Dua hal yang sedang terjadi sekarang ialah banyak orang-orang atau anak-anak sebagai generasi penerus, khususnya yang kurang mampu masih tidak bisa memiliki buku karena mahalnya harga buku tersebut dan keberadaan penerbit sebagai ‘makelar’ buku best seller atau buku berkualitas dengan harga yang lebih tinggi. Buku yang dianggap best seller berkisar dengan harga Rp 80.000,00. Persoalannya, apakah upaya ini akan membuat kalangan menengah ke bawah juga mengenyam ilmu, mengingat buku yang berkualitas sangat tinggi harganya?
Kebijakan Pemerintah Kota Semarang beberapa waktu terakhir ini sunguh sangat perlu didukung oleh semua pihak, termasuk penulis dan penerbit, yaitu Festival Buku Murah yang sering diadakan di Gedung Wanita Semarang. Menurut saya, kegiatan semacam ini harus mendapat apresiasi tertinggi dari masyarakat dan perlu dikembangkan di kota-kota kecil sekalipun. Diskon atau pemotongan harga hingga 87% menjadi durian runtuh dari beberapa kalangan yang “kurang”. Kegiatan ini harus sering dilaksanakan mengingat banyak kalangan yang masih membutuhkan ilmu, yang tentu berasal dari buku. Jangan mementingkan kualitas buku bagus semata sehingga kalangan “kurang” tak mampu menimba ilmu. Kuantitas buku berkualitas juga masih bisa ditambah jika semua kalangan mau prihatin dan berjuang menyelesaikan masalah pendidikan negeri kita ini.