Jumat, September 04, 2009

Teror Berakibat Makin Banyak Homo Homini Lupus

Teror berakibat makin banyak Homo Homini Lupus.
Aksi teror bom yang ditebar kawanan “X” yang kita belum tahu siapa itu pada beberapa hari lalu di Jakarta (J.W. Marriot dan Ritz Carlton) membuat banyak akibat di semua kalangan. Kejahatan terhadap nyawa, psikis seseorang, hingga perekonomian dunia internasional menjadi semrawut. Nyawa, sudah pasti melayang akibat bom tersebut. Dalam 1 menit nyawa 9 orang melayang dengan sangat cepat, dahsyat, luar biasa!
Yang tidak meninggal tentu harus bersyukur meskipun bentuk raga juga tak karuan rasanya. Luka-luka, luka batin, luka psikis, luka jiwa, atau apalah namanya, menimbulkan perasaan was-was, takut, serta tidak nyaman seseorang. Di semua kalangan! Tidak hanya Presiden yang geram dan mengutuk keras aksi teror bom tersebut, jejeran artis hingga masyarakat biasa (seperti saya tentu saja) juga merasakan hal itu. Benar ‘kan? Jangan munafik. Akuilah hal itu memang sedang Anda rasakan. Siaran media massa non-stop memberitakan cerita ini. Mengerikan! Yang pertama ada dalam pikiran kita : siapakah yang tega melakukan hal ini? Yang kedua adalah bagaimana ‘sih pemikiran pengebom itu? Rasanya mustahil di telinga kita yang setiap saat dihadapkan pada fakta-fakta baru tentang pasca pengeboman. Hidup selalu untuk memilih, dilema yang sarkastis! Menghadapi polemik-polemik membosankan sekaligus menantang!
Sedangkan kehidupan itu kejam. Tertawalah sebab seluruh dunia akan tertawa denganmu tapi jangan kamu menangis, sebab kamu akan menangis sendirian.
Ketika saya mendapat pelajaran Sosiologi, saya belajar utnuk memahami tiap kata Satjipto Rahardjo, guru besar Sosiologi di Universitas Diponegoro. Ya, tiap kata yang terdapat di tiap kalimat yang dilontarkan beliau ini! Untuk memahami kalimat yang diucapkannya memang tidak mudah, maka saya mempelajarinya tiap kata. Jika penafsiran saya benar mengenai kalimatnya, saya juga hendak memahami kalimatnya yang sering tertuang dalam definisi-definisinya mengenai kosa kata beliau. Tentu hal ini sangat tidak mudah. Pemikiran tajam beliau ini kadang sangat susah dipahami. Sosiologi kerap saya temui di manapun saya berada. Mempelajari tentang tingkah laku manusia, masyarakat, individu, ataupun kelompok.
Ketika dunia berpikir kencang mengenai sebab akibat yang kocar-kacir saya hanya kembali kepada sosok Thomas Hobbes mengenai teorinya Homo Homini Lupus, manusia sebagai serigala bagi orang lain.
Dunia diatur oleh sebuah hukum. Namanya hukum alam. Hukum rimba. Yang luar biasa kejam dan licik.
Jika saya sebut Anda serigala, marahkah Anda? Bagaimana reaksi Anda?
Jika Anda memang bukan “serigala”, sepertinya tukang parkir dan tulisan HARAP KUNCI SEPEDA MOTOR tidak dibutuhkan lagi!
Buat apa Anda mengunci sepeda motor Anda di tempat parkir? Jika Anda tidak menganggap orang lain akan mencuri motor Anda, buat apa Anda mengunci sepeda motor Anda? Saya setuju dengan teori ini dan saya percaya 100 persen jika Anda menganggap seseorang sebagai bahaya bagi Anda.
Jika kembali dalam kasus kriminal hingga genosida kebanyakan, yang sering menjadi gangguan pemikiran saya bukan pada akibat, melainkan pada sebab. Bukan maksud saya untuk mengantitesiskan ada sebab maka ada akibat atau ada akibat karena ada sebab. Jika saya balik, ada akibat maka ada sebab dan ada sebab karena akibat.
Menurut saya, homo homini lupus yang ditebar oleh teror bom ini termasuk yang terakhir. Dalam masyarakat kita terdiri dari banyak golongan, kelompok, yang tentunya di dalamnya tidak ada individu yang sama persis. Individu-individu inilah yang membentuk sebuah kelompok, golongan, strata, populasi, atau komunitas.Dalam perbedaan-perbedaan itu ditemukan adanya beberapa kesamaan yang ada.
Pasti. Saya jamin. Keadaan yang sama ini kadang membuat orang malah berpikir curiga dan punya kehendak untuk menjadikan kawannya itu lawan. Ada lagi rasa ingin untuk menjatuhkan lawannya itu jika ada kesempatan. Munafik jika Anda tidak mengakui hal ini.
Sama pula dengan pemikiran para gembong teroris yang melakukan jihad. Para pengantin-sebutan yang digunakan oleh para pelaku bom bunuh diri- dibuat sepercaya mungkin bahwa melaksanakan pengeboman terhadap tempat atau kawasan yang berbau “Amerika” adalah sesuatu yang luar biasa, mendapatkan pahala dan diterima dalam pangkuan Allah SWT. Kurang lebih begitu big line nya. Di atas tadi saya bilang bahwa ada sebab karena akibat. Saya percaya penuh mereka melakukan hal itu pasti ada akibat yang dterima berkat sebab yang mereka dapat. Lha, pusing ‘kan?
Mereka itu pintar ‘kok. Saya jamin, mereka bukan orang sembarangan atau orang bodoh yang hanya mencari sensasi masuk tipi. Ahli merakit dan memasang bom paling tidak butuh ahli yang tingkatannya paling tidak Strata 1. Bukan orang sembarangan yang tau istilah-istilah bahan yang dipakai untuk menghancurkan gedung. Terus, jadinya ‘kok pintar yang tidak bijaksana gitu? Pintar yang tidak tersalurkan dan menguntungkan. Atau cuma pemikiran mereka yang mungkin kita orang umum dan awam kurang mudheng!
Perbuatan semacam ini disebut sebagai teror, di mana masyarakat kita menjadi resah dan gelisah. Merasa tidak aman dan nyaman terhadap keadaan yang ada. Berakibat pula pada masyrakat yang tidak tahu apa-apa, semakin menjadi-jadi rasa was-was itu. Mau ke mall, takut. Tidur hotel bergengsi, apalagi. Punya tetangga buaaaaiiikkkkk’e nda karuan juga ternyata membuat kita justru merasa aneh. Saya yakin penduduk sekitar Temanggung yang berdekatan dengan rumah NMT tidak tahu bahwa rumah tetangganya itu sarang teroris. Wow!
Virus-virus ini telah menimbulkan dampak yang paling besar menurut saya. Yaitu homo homini lupus makin merebak. Rasa curiga terhadap orang lain meningkat. Antar manusia menganggap bahwa keamananya sebagai masyarakat sudah pupus, tidak ada lagi. Jangankan percaya terhadap hal-hal baru, untuk percaya pada hal-hal lama pun kadang masih agak sulit. Jika sudah begini, sebenarnya di mana pokok permasalahannya?
Dalam kenyataanya sebelum terjadi kehidupan memang teori homo homini lupus sudah ada, hal ini memang dibutuhkan, saya tidak menampik teori ini karena dengan adanya homo homini lupus, masyarakat kita dapat bertahan hidup. Tentu saja jika homo homini lupus dilakukan secara stabil dan sehat karena nantinya dalam proses ini akan ada persaingan dalam kehidupan mereka. Bila mau bicara tentang persaingan, tentu masalah persaingan dengan konteks bertahan hidup memang berat. Tapi bisakah hal curiga itu mulai dikurangi dan menggantinya dengan banyak positiv thinking? Saya yakin ‘kok homo homini lupus berkurang. Semoga.

Tidak ada komentar: