Selasa, September 15, 2009

REVISI PAHLAWAN

Aku masih duduk terpaku di trotoar Pahlawan.
Mencoba menyadari semua yang lewat.
Tanpa kutahu, alam tak ramah lagi.
Merunduk dan menangis,
selalu sakit perasaan ini.

Aku bertahan,
mengumpulkan serpih kesedihan dan semangat
yang aku sendiri tak tahu tercecer di jalan apa.
Aku lupa nama jalan itu.
Aku bahkan lupa bagaimana sebuah kesedihan bisa menyerpih, hilang.
 
Barangkali ada toko yang menjual semangat?
 
Kadang ada saat sebuah semangat mendapat sebungkus kesedihan.
Aku tidak memilih yang itu.
Aku akan membeli sebuah semangat yang terkemas dan terpajang apik di etalase.
Dan aku berusaha tak melirik sebungkus kesedihan yang didiskon besar-besaran di pojok etalase itu.

Hm…
Hanya nanti, lewat tengah maghrib, akan kubeli dan kupakai menuju kedewasaan otakku!

Ssstt…
Yang tadi rahasiaku denganmu!
Jangan katakan pada siapapun!
Mungkin akan kuberikan bonus kesedihan itu kepada yang belum merasakannya.
 
Kubenahi dudukku
Sampai, akhirnya, kupindahkan bokongku ke sudut sore yang sepi.
Tanpa ramai, tanpa kata.

Peluh, seperti biasanya, masih menyelimuti tubuhku.
Tubuhku, seperti biasanya, tak tertutup selembar selimutpun.
Aku, seperti biasanya, masih merancukan kata.
Aku, seperti biasanya, masih tak memahami kata-kata.

Aku,
serpihan sedih,
dan semangat.
Masih saling berkejaran di Simpang Lima .
Tanpa peduli kata-kata yang merecoki hidupku!

Tidak ada komentar: