Selasa, September 15, 2009

IKHLAS

Bagaimana sebuah ikhlas dipertanyakan?
Ilmu keikhlasan sering saya jumpai. Boleh dibilang ini ilmuyang paling susah setelah ilmu bahasa. Mendefinisikan sebuah ikhlas tentu tidak jauh dari peran serta jiwa besar di dalamnya. Mengikhlaskan sesuatu, dalam ajaran Islam, sangat-sangat berat dan memerlukan suatu daya “nrimo” yang lapang, luas, dan tanpa pamrih. Mengajak hal-hal yang bertentangan dengan pikiran, hati, dan emosi untuk memberi kesempatan terhadap jiwa untuk memberikan suaranya.
Ikhlas berarti mempercayai bahwa Tuhan akan memberi kita sesuatu yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih berharga dari yang sebelumnya. Padahal ada jiwa yang kadang begitu sulit untuk ikhlas/mengikhlaskan sesuatu, sehingga ada suatu dilema yang ujung paling mengerikan adalah tidak percaya lagi pada Tuhan.
Tentu hal barusan bukan ikhlas namanya.
Ikhlas itu tulus, tak terperi, mampu mengatakan “Yo wes, meh piye neh???” (“Ya sudah, mau apa lagi?”
Seakan-akan hal itu adalah pilihan hidup dan mati yang hanya terjadi 1x di dunia!
Seakan-akan pemberi kuasa tidak mengijinkan kita untuk menghirup udara kedua dan ketiga setelah hal tersebut terjadi! Sesungguhnya, siapakah itu yang ironis dan licik?
Ikhlas bukan membutuhkan mata, apalagi hati.
Ikhlas adalah mempercayai bahwa dengan merelakan sesuatu, kita akan lebih bahagia, lebih indah. Secara teoritik yang munafik.
Apa mampu kita bahagia dengan luka menganga, hati hancur berkeping-keping, dan jalan terseok-seok?
Tentu sulit.
Tapi dengan sebuah ikhlas, itulah hal yang membuat penderitaan tersebut justru menjadi lebih indah. Sangat indah. Dan di sini peran Tuhan akan menjadi anugerah, bukan sekedar pencabut kebahagiaan.

1 komentar:

Murder of Reality mengatakan...

yang menarik untuk menyambung pembicaraan ini adalah bila kita juga melihat mengenai falsafah 'blangkon'(mondholan)

'wong jowo kuwi senengane mbulet lan isin-isin' (tidak to the point atau malu-malu).Apabila ditawari sesuatu pun akan menjawab nggih matur nuwun, mboten, sampun, semuanya lebih kepada apa yang disebut penolakan halus, namun didalam hatinya dia menginginkan itu.
Maka falsafah blangkon layak disematkan pada sikap orang Jawa yang seperti itu. Dari depan blangkon terlihat rapi tetapi di belakang ada benjolannya (mondholan), persis dengan sikap beberapa orang Jawa yang pandai menyimpan maksud sebenarnya dari sebuah sikap yang menipu.