Sabtu, Agustus 07, 2010

IKLAN, HARUSKAH SELALU BEROBJEK PEREMPUAN?

Bukan tak mungkin berbicara mengenai perempuan sebagai objek komoditi pasar, karena memang seperti itulah keadaan yang terjadi pada perempuan kita. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang penyalur citra justru menjadi wadah bagi para pengusaha dan persaingan pasar global yang menjadikan perempuan sebagai sumber penghasilan. Berangkat dari kenyataan sepertri iklan yang ditampilkan kepada masyarakat sebagai penikmat media, ditemui dan dapat dipastikan bahwa iklan tak jauh dari peran perempuan di dalamnya. Selalu ada sosok perempuan yang ditampilkan dalam sebuah iklan. Seolah-olah, jika tanpa perempuan, iklan dianggap tak menarik, ada sesuatu yang kurang dalam sebuah cerita iklan, seakan akan (atau lebih tepat, pada kenyataannya) tubuh perempuan dijadikan magnet besar dalam pasar.

Konstruksi masyarakat terhadap sesuatu jelas mempengaruhi media massa, di sini media yang dimaksud ialah iklan. Demikian halnya jika iklan dianggap sebagai alat yang sangat berpengaruh di media massa, maka pernyataan Agus Maladi Irianto (Suara Merdeka edisi Minggu 16 Mei 2010 Hal. 19 Bianglala, LATAR) yang menyatakan bahwa audience hanya menelan apa saja yang disajikan media bisa kita rekonstruksi. Iklan merupakan salah satu unsur pembentuk (konstruksi) masyarakat kita. Jika iklan dianggap seolah-olah muncul tanpa ada maksud dan tujuan, itu jelas kurang tepat. Justru kita sadari bahwa bisa munculnya iklan itu jelas karena ada ‘sesuatu’ di dalamnya. ‘Sesuatu’ ini berasal dari konstruksi yang hidup dalam masyarakat tersebut. Mempertegas alasan bahwa masyarakat kita tidak buta terhadap konstruksi yang ada di tengah-tengah mereka. Jadi, apabila ketidakpedulian audience kita terhadap apa saja yang disajikan media ini hanya akan terjadi pada sebagian masyarakat kita, tidak semuanya mayarakat itu buta terhadap apa yang disajikan media.

Kembali pada persoalan semula, jika perempuan dan iklan “yang tak mungkin tanpa maksud dan tujuan” tetap berlanjut pada era ini, maka anggapan masyarakat tentang perempuan akan semakin redup. Banyak sekali model iklan perempuan yang justru kurang mengangkat kodratnya, bahkan cenerung melecehkan dirinya sendiri karena hanya bermodalkan tubuh-tubuhnya tersebut. Perempuan dalam iklan selalu identik dengan cantik, molek, berkulit putih, berambut panjang dan hitam, bajunya indah, dan sebagainya. Iklan menjejalkan media yang kiranya merupakan angan-angan kita terhadap seuatu yang indah, bagus, menarik, sempurna! Namun kadang iklan lupa menampilkan sosok perempuan yang jelek, kotor, buruk, menyedihkan, hingga terpuruk. Iklan semakin menjadi media yang tidak peka terhadap situasi sosial dan riil dalam masyarakat kita. Masyarakat dibentuk oleh konstruksi tubuh indah tadi, sehingga anggapan terhadap –yang buruk- ini disingkirkan. Hal ini tak hanya bisa membutakan mata kita dengan lingkungan kita tapi juga membutakan mata hati kita terhadap pembodohan yang terjadi pada diri kita sendiri. Kita akan semakin tak menyadari bahwa kita ini sedang di bawa ke mana oleh media massa.

Iklan yang dibuat pasti memiliki tujuan dan maksud. Jangan hanya berobjekkan perempuan, karena perempuan yang tertera dalam media massa ini tak selalu dan tak selamanya “indah” seperti kelihatannya. Masih banyak persoalan perempuan di negeri ini yang bisa diangkat menjadi iklan atau menjadi bahan pembicaraan media massa. Tentu tujuannya terarah pada penyetaraan gender, misalnya. Iklan tidak hanya untuk mempromosikan pasar, tapi bisa dimanfaatkan untuk proses sosialisai, pencegahan, pengurangan, pengumuman, dan masih banyak lagi. Janganlah hanya sekedar menjadikan perempuan sebagai objek komoditi pasar.

Tidak ada komentar: