Sabtu, Maret 01, 2008

Filosofi Cinta Begitu Buta
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.35, Ratih masih dag dig dug menunggu hujan reda. Hujan sejak tadi pagi memang belum reda. Adapun reda paling hanya sekitar 10 menit. Memang tidak deras. Gerimis rintik – rintik namun tidak kunjung henti. Suasana yang sejuk sebenarnya tetap tidak dapat mengusik perasaan yang tengah berkecamuk di hatinya. Sedih, bingung, putus asa. Entahlah. Ratih semakin merasa dirinya hampir gila.
Ratih masih membopong anak gadisnya yang baru berumur 4 hari. Anak gadis yang demikian diidamkan setiap orangtua. Anak itu demikian manis. Hidungnya tidak pesek – pesek amat seperti Waluyo, suaminya. Rambutnya hitam legam meskipun tidak lebat seperti Yudi, Azis, maupun Tirta waktu bayi dulu. Ketiga kakak laki – lakinya. Ah, gadis mungil ini bahkan belum sempat kuberi nama! Bahkan belum sempat merasakan kasih belaian orangtuanya. Belum sempat melihat seperti apa rupa orang tua yang akan meninggalkannya. Orang tua macam apa aku ini! Pekik Ratih.
Oleh karena tuntutan ekonomi yang begitu berat, Waluyo dan Ratih tak sanggup membiayai kehidupan rumah tangganya. Waluyo tidak bekerja alias pengangguran. Sedangkan Ratih, istri yang diperoleh berkat perjodohan orang tua mereka, hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota. Saat itu Waluyo mempunyai pekerjaan. Sebagai pemecah batu di desa, berapa upah yang bisa diperoleh. Ratih pun tidak bekerja sepenuhnya. Ia bekerja serabutan, yang penting bisa makan. Ketiga anaknya pun tidak sekolah. Yang sulung, Yudi tengah duduk di bangku SD kelas 6. Adiknya, Azis duduk di kelas 4. Sedangkan Tirta hendak dimasukkan ke bangku Sekolah Dasar. Kini Ratih malah menambah momongan! Tak sanggup tak sanggup Waluyo menghidupi keluarganya. Saat – saat krisis ekonomi begini. Saat harga – harga kebutuhan semakin menanjak. Astaga! Aku ini jahanam macam apa! Membuang anak sendiri gara – gara tak bisa menghidupinya. Tahu gitu tak usahlah membuat anak lagi! Mau dikasih makan apa mereka? Yudi sudah putus sekolah, tak sanggup Waluyo membayar uang Ujian nya. Bah, apalagi membayar uang gedung SMP. Miris hatinya ketika melihat putra – putranya tidak dapat sekolah lagi. Uang untuk bersalin putri pertamanya pun Waluyo pinjam dengan Pak Haji, Kepala Desa mereka. Untunglah Pak Haji tidak memasang bunga untuk itu. Waluyo amat bersyukur. Tapi sedetik kemudian ia sadar untuk mengembalikannya ia hendak memakai apa? Tidak penting sekarang mau membayar pakai apa. Toh Pak Haji cukup berada di Desa Sukolilo. Yang penting sekarang ini hanya kepulangan Ratih secepatnya dari Puskesmas, sebab biayanya akan semakin tingi bila Ratih terlalu lama di Puskesmas. Pukesmas Desa Sukolilo yang menurut Pak Haji kurang mumpuni. Penduduknya yang masih belum sadar gizi dan gagalnya penyuluhan Keluarga Berencana di desanya itu. Sungguh tak habis pikir Pak Haji dengan itu semua. Sebenarnya yang gagal memberikan penyuluhan itu Puskesmas nya atau penduduknya yang belum sadar mengenai KB?
Lama Waluyo termenung, terlalu serius dan semakin galau hatinya. Putri pertama mereka!
” Kang, bagaimana ini? Aku tak sanggup berpisah dengan putriku! Aku tak mau kehilangan dia! Aku tak mau kelak dia melupakan kita! ”
” Astaga, gila kau ini! Kita kan sudah sepakat hendak memberikannya kepada panti asuhan, dan semoga saja ada jutawan yang mau mengadopsi dia! Sudah untung dia tak kau gugurkan! Semoga saja dia mendapat jutawan dan hidupnya indah kelak! Tidak merasakan susah seperti kita! Dengan begitu kau akan tetap dapat melihat dia kapanpun kau hendaki. Bukan begitu perjanjian kita? Kau tentu tidak lupa ’kan? Aku pun mencintainya! Sayang seribu sayang dia diletakkan pada rahimmu. Orang tua kere dan pengecut seperti kita. Sungguh malang nasibnya. Ayolah Ratih, keputusan kita sudah bulat bukan? Tapi apa hendak dikata, zaman sekarang apa – apa serba mahal. Kau lihat, ketiga anak kita tidak sekolah. Kau bekerja hanya untuk mengisi lima perut kita. Belum kebutuhan yang lain. ” jawab Waluyo panjang lebar.
” Iya Kang, aku ingat. Hanya saja tetap butuh waktu untuk menjalani ini semua. Semoga saja putri kita – ah, bahkan kita belum sempat memberi dia nama..”
” Astari. Astari Sugiarto” jawab Waluyo secepat mungkin, sebelum Ratih menyelesaikan kata – katanya. ” Astari, Asta itu artinya membawa. Sugi itu artinya sugih. Sugih itu kaya. Arta itu uang. Jadi aku mengharapkan dia, Astari anak yang membawa kekayaan berupa uang! ” gumam Waluyo lagi. Ia bahkan melupakan sejenak bahwa untuk kaya itu butuh perjuanagan. Pengorbanan. Pekerjaan yang tidak mudah. Tapi Waluyo tidak berpikir seperti itu sekarang. Angan – angan boleh saja kita mengharap yang indah – indah. Mana mau orang berharap yang buruk – buruk terus. ”Astari. Bagus juga. Astari, maafkan kami yang putus asa karena ini. Kau akan mendapat orang tua yang akan mencintainmu luar dalam. Ya Allah.. Ampuni kami yang tidak bisa memberikan apa – apa untuknya.” gumam Ratih, lirih.
Di malam kelabu ini keputusan pasangan itu telah bulat penuh. Pukul 21.00 Ratih mengambil payungnya dan berbekal perlengkapan bayi yang diberikan oleh bidan Puskesmas Ratih mengayunkan kakinya. Meski berat, mau tak mau harus mau ia pun menuju ke Panti Asuhan Sinar Kasih. Sepi sunyi malam ini terasa sangat berbeda dengan malam – malam yang lain. Justru sepi sunyi inilah saat yang tepat baginya agar para tetangga tidak melihat tingkahnya. Dan lagi menurut Ratih, pukul 21.00 pengelola panti asuhan itu masih bekerja, itu juga menurut pembantu panti Asuhan itu. Entah masih mengurus anak yang rewel atau apalah itu.
Sinta Bahrudin selaku pengelola segera mempersilahkan Ratih masuk ke kantornya malam itu. ”Ibu Sinta, keputusan kami telah bulat.”
Setelah mengamati Ratih barang sejenak, wanita berkacamata itu segera mengerti jelas kedatangan wanita di hadapannya itu. Ia mengingat – ingat 2 bulan yang lalu, ketika Ratih datang ke panti asuhan itu.
Ratih tertegun sejenak. Di sinilah. Di sinilah tempat puterinya hidup di hari esok. Tempat meninggalkannya. Panti Asuhan Sinar Kasih tak terlampau besar. Hanya dihuni 18 anak. Yang semuanya sama, sama – sama yatim piatu – tak punya ayah maupun ibu – dengan segala alasan apapun itu. Dindingnya yang bercat hijau muda tampak semakin pudar dimakan waktu sudah sama warnanya dengan halaman di tengah panti asuhan itu. Sesekali Ratih menerawang jauh, membayangkan puterinya besok akan bermain – main di halaman itu. Ah, air mata Ratih terjatuh lagi. Ibumu ini Nak yang tak mampu menghadapi kenyataan!
” Agaknya saya berharap Ibu mau merawat anak ini. Astari Sugiarto. Sebagaimana adanya yang telah kita bicarakan 2 bulan yang lalu. Karena tuntutan ekonomi keluarga saya semakin tak karuan. Saya hanya berharap ada orangtua asuh yang mau mengadopsi dia. Mencintainya luar dalam. Memenuhi segala kebutuhannya. Bu, saya mohon. Jangan biarkan dia mengetahui seperti apa rupa orangtuanya.”
” Ah, ya, anak ini cantik sekali.”
” Saya hanya menyalurkan kemampuan saya Bu. Lebih baik anak ini Anda serahkan kepada Tuhan. Memohonlah pada Allah. Sebab hanya Ia yang Mahatahu. Hanya Ia yang punya rencana di balik ini semua. Saya sendiri mencintai setiap anak di sini seperti anak saya sendiri. Kalau keputusan Ibu sudah bulat, ya sudah. Hadapi kenyataan hidup ini. Inilah jalan yang harus ditempuh kalian. Hidup itu dilema. Selalu dihadapkan pada banyak pilihan. Tetapi kita hanya boleh memilih salah satu. Oya, surat keterangan sudah Ibu bawa kan? Saya juga butuh Kartu Tanda Penduduk Bapak dan Ibu serta Akta Kelahiran Si Kecil ini. Ngomong – ngomong, mana Bapaknya?” lanjut Sinta.
“ Bapaknya tidak sanggup melihat perpisahan ini, Bu. Ia merasa amat lemah sebagai laki – laki. Yah, Ibu tentu tahu maksud saya.”
“ Ya. Sudahlah, saya sudah mengerti.” jawab Sinta.
Ratih tak banyak bicara malam itu. Tatapannya masygul. Masih bimbang dan bingung terhadap pilihannya itu. Benar atau salah. Tapi Ratih tak mau lama – lama. Dibiarkan nasib menggerogoti dirinya.
Sinta sendiri juga tak kalah diamnya. Ia memaklumi saja pasutri ini. Ada saja alasan orangtua untuk lepas dari tanggung jawabnya. Tapi Sinta tetap menganggap semua anak di panti asuhan ini sebagai anaknya sendiri.

Yap Leo Hadinata dengan istrinya, Winda Lesmono pagi itu sedang sarapan ketika telepon di rumahnya berdering. Dihampirinya telepon itu, siapa ini pikirnya. Pukul tujuh pagi sudah telepon. Mengganggu saja, kata Leo di dalam hati.
“ Halo, selamat pagi, dengan Bapak Yap Leo Hadinata? “
“ Betul. Siapa ini? “ jawab Leo segera.
“ Ah, kau lupa pada suaraku, Yap. Ini aku. Singgih. Aku hendak mengabarkan hasil tes mu dan istrimu. Kau dan istrimu itu terlalu sibuk rupanya. Aku menelponmu pagi – pagi seperti ini, sebab bila kutelpon siang nanti apalagi malam, kalian pasti tidak ada di rumah. Kau dan Winda bisa segera ke rumah sakit bukan? Aku menunggumu. Kita akan membicarakan hasil tes kalian berdua. “ jawab si penelpon di seberang sana.
“ Oh kau rupanya Dokter Singgih. Ya, ya okelah. Sebelum berangkat kerja aku dan Winda akan ke sana. Dia sudah tidak sabar untuk mengetahui hasil kesuburan kami. Bagaimanakah hasilnya? ” jawab Leo.
” Sulit sekali, Yap. Jangan kau kecewa akan hasilnya. Kita tetap berusaha semaksimal mungkin agar kalian bisa cepat dapat momongan. Tapi agaknya kau tidak bisa menyalahkan Winda terusan. Sel telur kalian terlalu sedikit. Miliknya terlalu sedikit, dan tidak seimbang, milikmu tidak agresif. Pembuahannya jadi gagal. Jangan kau kecewa Yap. Mungkin Tuhan punya kehendak lain.” jawab Dokter Singgih.
Dokter Singgih adalah teman Leo semenjak SMA. Mereka bahkan satu kampus. Tapi dengan jurusan berbeda pula. Singgih mengambil jurusan kedokteran, spesialis kandungan. Leo mengambil jurusan bisnis internasional. Setelah tujuh tahun perkawinan mereka, tak sekali pasangan Leo dan Winda berselisih. Meskipun perselisihan itu tak kentara di muka umum, namun di dalam rumah tangga mereka bagaikan kapal Titanic yang hendak karam karena belum mempunyai momongan. Baik Leo maupun Winda amat mengharapkan anak dalam rumah tangga mereka. Namun sayang, Tuhan masih punya rencana lain. Dan Singgih sebagai kawan baik Leo beritikad baik selalu membantu pasangan itu. Tapi manusia berusaha sekeras mungkin bila Tuhan tidak berkehendak tentu saja itu jadi lain soal. Sebenarnya mereka amat enggan bila disuruh memeriksakan kondisi mereka. Leo selalu menyalahkan Winda. Winda hanya bisa pasrah, Winda terlalu mencintai Leo. Winda tak ingin Leo selalu bersedih. Padahal sebenarnya Leo tak punya alasan untuk bersedih lagi. Pekerjaannya membuahkan hasil yang baik. Tingkat kemajuan perusahaan yang ditanganinya selalu menanjak. Seluruh karyawannya makmur dan sejahtera semenjak semua ditangani langsung oleh Leo. Semua kebutuhan mereka terpenuhi. Rumah gedung tingkat tiga itu terlalu luas ditinggali oleh dua orang itu, bersama tiga pembantu dan dua sopir serta seorang satpam. Namun tentu saja, kebahagian tak selalu dapat dibeli dengan uang. Akhirnya mereka menyerah setelah melewati seribu satu macam cara untuk mendapatkan anak. Yang terakhir, proses bayi tabung ini pun juga gagal. Pupus sudah harapan mereka. Entah mungkin setelah ini Leo mungkin akan menceraikan Winda secepat mungkin atau apa lah, Winda terlalu takut untuk membayangkan itu. Winda juga yang akhirnya memasrahkan diri kepada Dokter Singgih untuk diperiksa. Padahal sebelumnya Winda ogah sekali memeriksakan dirinya. Malu pada dokter rupanya. Tapi dengan Leo akhirnya Winda mau juga, asal dengan Dokter Singgih langsung yang menanganinya.

Sesekali Singgih menatap dua orang di depannya dengan pandangan kasihan. Rupanya orang kaya yang tidak bahagia. Selalu sibuk bekerja. Mungkin Tuhan tahu kalau kesibukkan kedua orang itu terlalu berlebihan, oleh sebab itu Tuhan belum mau menitipkan anak pada mereka.
” Satu – satunya jalan Yap. Adopsi. Hartamu sudah menumpuk bukan. Mungkin tidak salah bila kau coba mengadopsi anak saja. Winda tentu juga akan menyetujuinya bukan bila kalian benar – benar merindukan sosok anak di dalam rumahmu? ” Dokter Singgih mulai pembicaraannya tanpa sungkan. Dokter ini memang selalu ceplas – ceplos pada mereka. Sudah akrab memang.
” Mungkin akan kucoba.” jawab Leo.
Winda agaknya kaget, tidak percaya pada apa yang didengarnya. Akhirnya Leo menyetujui juga usul Dokter Singgih. Winda segera melayangkan pikirannya kesana kemari. Apa yang akan dilakukannya setelah ini. Seperti apa rupa anak yang akan menjadi miliknya. Winda ingin sekali menimang seorang puteri. Agar nanti bisa didandani secantik mungkin. Puteri kecil yang imut – imut. Manis, pandai, berbakat seperti dirinya. Winda sendiri seorang wanita karier yang sukses. Cantik. Anggun. Pandai dan rajin. Pawakannya tinggi langsing, kulit yang kuning langsat menambah manisnya dirinya. Dandanannya tidak pernah menor, selalu anggun, mencerminkan wanita yang... Ah, Leo selalu mendambakan istri yang seperti ini. Serba bisa. Istimewa pokoknya! Tak salah pilihannya waktu itu. Tapi waktu itu Leo bahkan tidak mempedulikan adanya tumor di rahim Winda. Itu sebabnya! Ovumnya bahkan terlalu sedikit dan tidak seimbang.
” Di mana pula aku harus mencari orang tua yang sudi memberikan anaknya untuk kami? Menculik? ” lanjut Leo.
” Wah bisa – bisa kau dipenjara Yap! Hahaha... ” gurau Singgih.
Namun Yap Leo dan istrinya yang dari tadi diam tidak menanggapi gurauannya. Malah semakin diam. Rasanya dunia begitu luas. Mana ada orangtua yang memberikan anaknya untuk orang lain. Adapun itu pasti hanya satu orang dari sejuta manusia! Pikir Winda kecut.
” Tidakkah kalian ingat, banyak anak – anak di dunia ini, yang tidak dapat merasakan kasih sayang orang tuanya. Kau lihat itu Yap? Win? Yang bahkan dimanfaatkan orang tuanya untuk mengemis atau menga..” belum selesai Singgih melanjutkan kata – katanya. ” Jadi yang kau maksud aku mengadopsi gelandangan cilik atau anak pengemis? Pengamen? Jangan bercanda kau! ” seru Leo seketika.
” Lho, aku kan belum selesai bicara. Kau bisa saja ke lembaga masyarakat seperti panti asuhan atau tempat – tempat seperti itu kau tentu mengerti maksudku kan Win? ” Winda hanya mengangguk, padahal ia masih bingung pada perkataan Singgih. ”Ya kau bisa saja menghubungi banyak panti asuhan atau kenalanmu juga banyak kan di kantor. Suruh anak buahmu mencari dong.” ujar Singgih lagi.
” Maksudku, aku tidak mau sembarangan tahu! ” bentak Leo.
” Ya tentu saja. Kan aku tadi sudah bilang, banyak panti yang menampung anak yang kurang beruntung itu. Kau dan Winda bisa melakukan seleksi anak – anak itu, serta latar belakang dan seluruh tetek bengek mengenai itu. Lalu yang paling cocok dengan kalian, seperti yang kau inginkan maksudku, pilih saja anak itu.” Singgih menambahkan.
” Apakah bisa segampang itu, Singgih? Yang aku takutkan bila suatu hari anak itu akan mengerti latar belakang kehidupannya. Oh, aku bahkan tak bisa membayangkan itu terjadi. Bilamana ... ”
kini ganti Winda yang menjawab. Winda mulai tertarik dengan pembicaraan ini.
” Tentu saja suatu hari si anak akan mengetahui keberadaannya yang sesungguhnya. Semua tergantung pada kalian bagaimana kalian mendidik atau mengasuhnya. Anak itu ibarat selembar kertas yang masih putih bersih dan polos. Tergantung bagaimana dan apa yang kau torehkan dengan pena di atasnya. Seperti itulah esok dia.” jawab Dokter Singgih.
Ternyata lebih mudah mencari orang hilang atau mencari korban bencana alam, menurut Leo ketimbang mencari atau memilih anak. Memangnya anak itu barang? Ada yang cocok tetapi kurang sreg dengan latar belakangnya. Ada pula yang sreg dengan latar belakangnya tapi tidak cocok dengan fisiknya. Lelah tak cuma menghampiri Leo. Winda pun juga lelah dengan ini semua. Seolah – olah di dunia ini sudah tidak ada anak yang dapat diadopsinya. Padahal baik Leo atau Winda sudah meluangkan banyak waktunya untuk memulai misinya itu.
Atas prakarsa salah seorang teman Winda, akhirnya ditemukan sebuah panti asuhan yang menurutnya patut dicoba. Tapi Leo sudah putus asa, sengaja Winda datang sendirian ke Desa Sukolilo. Panti Asuhan Sinar Kasih. Sudah tiga kali ini Winda kembali datang ke Panti Asuhan itu. Pada akhirnya memang membuahkan hasil. Ada seorang anak yang membutuhkan orangtua yang siap menafkahinya lahir dan batin.
Cukup lama berbincang dengan Sinta, akhirnya titik terang telah tercapai. Tapi tentu saja Sinta juga mengharapkan kehadiran Leo. Leo tidak ikut karena masih banyak urusan, dalihnya. Tapi tentu saja rasa penasaran selalu membuatnya tidak sabar untuk bertemu dengan puteri pertamanya itu! Anak yang akan diasuhnya. Yang akan hidup bersamanya kelak.
” Ibunya terpuruk dalam keadaan ekonomi yang menyusut. Tidak sanggup membiayai hidup mereka. Jadi bukan karena faktor apa – apa, Bu. Ayah Ibunya menamainya Astari Sugiarto. Bila Ibu hendak mengganti namanya, Ibu punya hak untuk itu. Asal surat adopsinya tetap jelas. Bila Ibu atau Bapak memerlukan identitas orangtuanya, kami dapat memberikannya lengkap seperti yang Ibu minta.” kata Sinta sambil mengantar Winda menuju mobilnya.
” Tentu Bu. Saya memang membutuhkan identitas dan semua tentang anak ini. Kelak bila ia mengetahui kebenarannya, kami akan selalu siap dari sekarang. Terima kasih, Bu. Saya harus undur diri sekarang. Mulai hari ini saya akan merawat anak ini seperti darah daging saya sendiri.” ucap Winda.

Anak itu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga Leo. Umurnya menginjak 2 bulan ketika dibawa pulang oleh Winda dan Leo.
Banyak kalangan dan sanak saudara yang menanyakan keberadaan anak itu. Tak perlu ditutup – tutupi lah, pikir Leo dan Winda. Toh kenyataannya memang begitu. Memang kenapa? Ini bukan aib pula. Kadang orang sirik juga tetap ada, namun tak sedikit pula support dan dukungan untuk mereka. Berbagai ucapan rasa turut berbahagia tak berhenti mengalir dari telepon, rumah, dan kerabat – kerabat di kantor.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun pun berlalu begitu cepat rasanya. Semua mereka lalui dengan bahagia. Leo dan Winda tak segan lagi untuk memamerkan anaknya pada semua orang. Mereka sangat bahagia. Bahkan kini Winda lebih banyak di rumah untuk mengurus Shery. Pekerjaanya ia banyak serahkan pada beberapa asistennya di kantor. Dia hanya mau tahu jadi. Tahu beres dan menunggu laporan dari bawahannya. Begitu juga dengan Leo. Waktu bekerjanya dikurangi. Sekarang ia lebih suka pulang sore dan menemui istri serta anaknya daripada mengikuti meeting berjam – jam dengan mitra bisnisnya.
Kini Shery sudah berusia 5 tahun. Perangainya yang lincah, enerjik, dan menggemaskan kerap kali membikin orang yang melihatnya merasa takjub. Matanya yang bulat dan rambut hitamnya yang sebahu sering dikuncir dua oleh Winda, belum lagi poni kudanya yang menambah imut rupanya.
Shery dididik dengan disiplin, tertib, rapi, namun penuh dengan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya menginginkn yang terbaik untuknya. Dari segala kebutuhannya mulai dari susu, pakaian, mainan, dan yang penting ialah kesehatannya selalu dipilih yang terbaik. Vaksin dan segala imunisasi tidak pernah terlambat. Tidak kurang satu apapun itu. Berapapun harganya, yang penting Shery selalu sehat dan terpenuhi.
” Shery nanti jam tujuh malam ada ”job”.” kata Papa nya.
” Ya.” jawab Shery, seperti biasa. Memangnya apalagi yang dapat dikatakan anak itu selain mengiyakan pernyataan ayahnya itu?
Malam ini ada “job” menyanyi pada sebuah pesta ulangtahun anak relasi Leo. Shery memang sudah terbiasa dengan pekerjan itu. Sebenarnya Leo dan Winda sedikit enggan bila dikatakan bila Shery menerima beberapa job, seperti sekarang ini. Umur Shery masih belum pantas untuk mencari nafkah. Semua tercukupi. Apa yang masih kurang? Sejak kecil Shery gemar menyanyi. Dari playgroup bakatnya sudah nampak. Gayanya yang lincah dan centil suka bergaya di depan umum dan kamera sangat mengagumkan. Luwes dan menarik. Dari hobi menyanyi itulah akhirnya Winda dan Leo memutuskan untuk memupuk bakat anaknya itu. Menurut mereka, bukankah bakat harus dikembangkan bukan? Tapi akhir – akhir ini bakat – bakat itu disalurkan pada job yang tentunya menghasilkan uang pula. Yap dan Winda tidak peduli dengan uang yang didapatnya. Toh tidak seberapa. Yang penting ia ingin menjadikan Shery anak yang berbakat yah kalau bisa menjadikan seorang bintang cilik yang diakui oleh publik pula. Kadang mereka ingin menunjukkan bahwa anaknya juga bisa seperti anak – anak yang lain. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya sanggup. Mampu menjadi orang tua bagi anaknya. Mampu membiayainya. Mampu menghidupinya. Mampu segalanya. Mampu memberikan demokrasi kepada anaknya untuk memilih. Lagipula Shery tidak keberatan. Predikat adopsi sudah ditelan bulat – bulat oleh pasutri ini. Persetan dengan omongan orang! Toh besoknya dia akan mengerti juga. Tentu saja bila dewasa nanti. Alasannya untuk tabungan di masa depan. Akhirnya segala macam kursus, les, latihan hingga sanggar diikutinya tanpa mengenal lelah. Tak jarang Shery mengingkuti banyak lomba dan memenangkannya. Jadi tak perlu heran pula jika piala di rumah sudah puluhan.
Kadang Shery sempat berfikir mengapa anak sekecil aku selalu tak pernah ada istirahatnya? Setelah sekolah ada les. Setelah ada les, ada kursus. Setelah kursus ada job yang harus diselesaikannya. Belum lagi membuat PR dari Bu Guru Renata! Kasihan sekali aku!
Tapi Shery juga bahagia bila ia boleh mengikuti perlombaan – perlombaan itu. Ia senang, ya walau kadang badan terasa lelah, belum lagi rasa kantuk yang tidak bisa ia sembunyikan di sekolah esok harinya, ia masih bisa menikmati pujian dari gurunya dan teman – temannya.

Menginjak umurnya yang ke – 19, Leo dan Winda sepakat menguliahkan Shery di Beijing. China. Kesepakatan itu telah diputuskan lama sebelum Shery remaja.
Saat itu Shery sudah tumbuh menjadi gadis yang manis, supel, ramah, keras kepala namun cerdas. Sungguh menyenangkan! Kritis terhadap semua masalah yang dihadapinya. Tidak sia – sia Shery mengikuti kursus Mandarin waktu kecil. Kemampuan olah bicaranya sungguh mengagumkan. Sungguh anugerah luar biasa. Kadang Winda memikirkan hari depan Shery. Ia ingin anak itu sempurna. Ya, sempurna. Tidak ada kata – kata lain yang harus didapatkan seorang Shery selain sempurna! Siapa tak kenal Shery Hadinata? Gadis manis ini yang akan diberangkatkan ke Beijing siang ini! Ah, rasanya Winda tak ingin melepaskan anaknya begitu saja! Tapi perjanjiannya dengan Leo sudah tidak dapat dielakkan lagi. Ini sudah waktunya. Mereka tak ingin Shery hidup di Indonesia. Tak ingin ketentraman Shery diusik oleh orang usil. Orang yang nantinya mungkin akan memberitahu Shery dan semua tentangnya. Leo tak mau itu terjadi. Lagipula mutu pendidikan hingga pergaulan sudah dipikirkan matang – matang oleh mereka. Tak ketinggalan semua biaya yang akan ditempuhnya ke depan. Oh, itu bukan masalah utamanya! Uang bisa dicari. Tapi Shery? Leo kadang melupakan status anak itu. Tidak pedulikan darimana asal anak itu. Padahal dalam Keluarga Yap yang semua keturunan Tionghua asli tidak mengharapkan adanya pribumi dalam keluarganya. Sulit memang! Maka dari itu, salah satu misi nya ‘’menaruh’’ Shery di Beijing ialah itu. Esoknya, menantu yang diharapkan tentu berasal dari keturunan yang sama. Terpandang, setara, dan yang pasti berasal dari keluarga yang baik – baik.

“ Shery, kau tentunya akan melanjutkan kuliah di sana bukan? Mungkin tahun depan Papa dan Mama baru akan menjengukmu. Tidak apa kan Sayang? Kau tahu Papa mu sibuk sekali dengan pekerjaannya. ”
ucap Winda malam itu waktu menyempatkan bertelepon dengan Shery. Kira nya waktu hanya terpaut 1 jam antara Jakarta – Beijing. Itu pula bila Shery yang sangat membutuhkan Winda. Ia sangat rindu pada orangtuanya.
” Iya Ma. Aku sudah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studiku. Kapan Mama dan Papa ke sini? Aku rindu kalian. Aku juga akan mengenalkan seseorang kepada kalian. Hahaha.. Mama ’kan tentu tahu maksudku! ”
” Wah, Nona manis sudah ada yang punya yah? Kenalkan pada kami waktu kami datang nanti! Janji loh!” jawab Winda dengan nada yang aneh. Senang juga cemas.

Janji itu pun kini terpenuhi saat Winda dan Leo mengunjungi Shery di Beijing. Denny Wicaksono. Alamak! Orang setanah air pula! Yah, kadang memang jodoh tidak lari ke mana, pikir Winda dan Leo saat berkenalan dengan pemuda itu. Melarikan Shery hingga Beijing pun tetap bertemu dengan orang tanah air. Posturnya tinggi tegap. Semampai. Tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk. Tidak kekar juga. Tampaknya pemuda yang sangat biasa – biasa saja. Sungguh. Tidak ada yang menarik darinya. Hm, kecuali lesung pipi kanannya dan gingsulnya yang sedikit menambah manis. Rambutnya pun rapi. Modis tapi sopan. Belahan rambut di sebelah kanan. Tidak dijabrik – jabrik. Winda suka itu. Tidak dibuat – buat. Tidak dicat warna – warni begitu. Dan yang pasti tidak bertindik dan tidak bertatto. Bergidik Winda bila membayangkan laki – laki model begitu yang menjadi pacar Sherry. Tidak pakai anting sebelah juga. Tutur katanya mencerminkan seorang berpendidikan tinggi. Bajunya sopan pula. Terdidik dan terpelajar. Ramah. Manis. Kulitnya yang sawo matang malah membuat gayanya semakin cool. Sopan pula kepada Winda dan Leo. Lega kedua orangtua itu melihat seperti apa orang yang sudah setahun menjaga Shery. Tak lupa Leo melihat mata Denny. Oh, sipit rupanya! Kalau begini kan tenang.
” Denny Wicaksono, Oom, Tante. Lulusan Teknik Pangan Universitas Taipei. Sekarang bekerja pada restoran - restoran franchise di Beijing. ” goda Shery sembari mengenalkan Denny pada kedua orangtuanya.
” Apa agamamu? ” tanya Leo tiba – tiba. Leo juga kaget sendiri dengan ucapannya. Tapi ia harus menanyakannya. Harus. Sejak Winda bercerita kalau Shery sudah mempunyai kekasih di Beijing, Leo tidak tenang hati. Pikirannya yang bukan – bukan.
Tanpa sadar pula Shery menyikut tangan Papanya.
Sungguh pertanyaan aneh. Apa – apaan sih? Tiba – tiba sekali dalam pertemuan pertama!
Dasar orangtua!
Tapi Denny dengan sopan menjawab pertanyaan itu yang menurutnya juga sangat mengejutkan,
“Saya Nasrani, Oom. “
Nah! Inilah yang dikhawatirkan Leo.

“ Kau tahu kan Sher, jelasnya di keluarga kita tidak menyukai Nasrani. Terlalu ambisius! Fanatik! “ ungkap Leo ketika mereka sampai di apartemen Shery. Pelan tetapi tegas. Pasti. Kukuh. Denny bukan pribumi tapi Nasrani! Shery makin pusing dengan Papa nya. Tidak ada yang menangapi Leo. Malam itu Beijing terasa amat dingin. Kegundahan Winda juga memuncak, tetapi tidak diperlihatkan. Shery apalagi. Ditelannya rasa bingung itu tanpa bantahan sedikitpun. Ia mengerti. Sangat paham maksud Papanya.
Jadi itu sebabnya makan malam dalam perkenalan itu cepat – cepat diakhiri oleh Leo. Ia tidak ingin anaknya ikut – ikut oleh Denny. Ia takut Sherry melupakan leluhurnya.
Kokoh sekali Yap Leo bersikukuh menolak Denny. Ia sungguh tak mau bermenantukan seorang Nasrani! Ia tak ingin Shery juga terpengaruh ajaran Nasrani. Bagaimana ini? Cinta mereka sudah terlanjur. Sulit rasanya memisahkan cinta itu. Dulu ia juga merasakannya dengan Winda. Persetan dengan tak punya anak. Yang penting ia cinta pada Winda dan sebaliknya.
Bah, siapa peduli leluhur? Shery toh bukan berasal dari leluhurnya? Ia pribumi asli bahkan!
“ Biarkan saja lah Pa. Kau juga hapal sikap keras kepala Shery seperti apa. Anakmu sudah mantap dengan Denny. Dua tahun lagi Denny akan melamarnya. Kau lupa itu? Ia tak buruk – buruk amat. Mereka saling mencintai. Ingat itu Pa. Itu landasan pernikahan kita juga kan? Aku dan kau saling menerima apa adanya. Jangan salahkan Shery. Kita toh tidak pernah saling menyalahkan. Biarkan kita melihatnya bahagia. Bukankah itu keinginan kita? Apapun untuknya bukan? Aku sudah memikirkannya. Janganlah kita melihat orang hanya dari mana dia berasal. Ingat, Shery bukan milik kita . Bukan pula dari rahimku. Bukan pula dari benihmu. Denny dan Shery sudah sanggup saling menerima. Umur mereka sudah cukup untuk saling berbagi. Biarkan Shery tidak pernah tahu. Cukup hanya kita dan Tuhan. ” kata – kata Winda malam itu begitu mengalir dan tak kuasa pula air matanya mengalir di pipinya.
Malam itu Leo akhirnya melepaskan segala kekhawatirannya pada sebuah pelangi di sudut matanya. Ia akhirnya membebaskan anaknya untuk menemukan kebahagian. Sesungguhnya semua kebahagiaan tidak dapat dibeli dengan uang. Percampuran unik dalam keluarga Leo akan segera terlaksana. Tidak bergurau bila dua tahun kemudian Denny dan Shery menemui kedua orang tua Shery untuk melamarnya.

Dalam suasana gamang itu pada akhirnya Denny dan Shery akan memohon restu kepada Papa dan Mama nya. Saat ini Leo dan Winda sudah pasrah dan menerima kenyataannya.
Tak lupa sembari memeluk Papanya, Shery berbisik,
” Pa, kami telah menyepakati...
Bahwa...
Denny akan mengikuti ajaran kita.. Ia akan menerima leluhur kita pula. Restui kami ya, Pa?”
Dan Leo masih tidak tahu harus menjawab apa. Justru akulturasi unik ini menambah rasa kesatuan dalam keluarganya. Leo pun membesarkan hatinya dengan membandingkan dirinya dengan Bangsa Indonesia. Ia sendiri WNA keturunan di Indonesia. Menetap di Indonesia juga. Bangsa Indonesia sendiri bangga akan dirinya sebagai masyarakat. Generasi – generasi penerus yang melanjutkan kemerdekaan Indonesia. Mengapa dirinya tidak bisa menerima Denny sebagai menantunya? Seegoiskah itu dirinya? Leo kecut sendiri memikirkannya. Kini malah Denny yang berkorban demi menggapai cintanya. Cintanya pada keluarga Shery sudah cukup membuktikan.
Yah, kadang cinta memang begitu buta. Filosofi kuno.

Tidak ada komentar: